Rabu, 25 Juli 2012

Sekilas Tentang Novel Arus balik

Novel Arus balik pertama kali terbit tahun 1995. Tahun 1995 seringkali disebut sebagai tahun polemik Pramoedya Ananta Toer. Ada tiga penyebabnya Pertama : Terbit buku Prahara Budaya yang mengingatkan kembali masyarakat bagaimana aksi-aksi PKI/Lekra dalam memberangus kebebasan berkarya dan berekspresi Kedua : Polemik pemberian hadiah Magsasay kepada Pram dari pemerintah Filipina. Menanggapi pemberian hadiah ini, sekitar dua puluh enam sastrawan/budayawan papan atas Indonesia mendatangani sepucuk surat pernyataan kepada Yayasan Ramon Magsasay. Mereka menyatakan bahwa penghargaan Magsasay terhadap Pramoedya Ananta toer adalah sebuah komedi yang ditandai dengan pencampuradukan kesalahpahaman dan penyerdehanaan atas sejarah. Menurut mereka Pram tidak pernah menyesali dosa-dosanya di masa lalu saat masih menjadi pemuka Lekra. Sastrawan yang paling agresif menggalang tanda tangan penolakan hadiah Magsasay untuk Pram adalah Taufik Ismail dan Muchtar Lubis. Bahkan Muchtar Lubis mengancam akan mengembalikan hadiah yang pernah diterimanya meski dengan mencicil jika penghargaan Magsasay jatuh ke tangan Pram Sederet nama lain yang turut menandatangani penolakan ini diantaranya : HB. Jassin, Ali Hasjimi, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Bokor Hutasuhut, DS Moeljanto, WS Rendra, Leon Agusta, Misbach Jusa Biran, Amak Baljun, Chairul Umam, Mochtar pabotinggi, Adul Rahman Shaleh, Lukman Ali, Danarto, Rahmat Djoko Pardopo, Ikranegara, slamet Sukrinanto, Syu’bah Asa, serta SM Ardan. Tak hanya itu, sastrawan Filipina F Sionil Jose menuduh yayasan Magsasay salah memilih orang. “Bukti Tirani Pram Terdokumentasi” tegasnya Goenawan Muhammad yang juga termasuk salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan tidak ikut mengeroyok Pram dengan alasan bahwa Pram dalam keadaan yang tidak bebas sehingga tidak bisa membela diri. Ditengah sengketa Posisi Pram itu, muncul kekuatan lain yang mendukung Pram menerima penghargaan Ramon Magsasay. Mereka yang datang dari pelbagai lapisan sastrawan/budayawan muda itu memberi titel : “Pernyataan kaum Muda untuk Kebudayaan”. Pernyataan itu ditandatangani antara lain Ariel Heryanto, Arif Budiman, Acep Zamzam Noor, Isti Nugroho, Halim HD, Sitik Srengenge, Tommy F Awuy, Wiji Tukul, Hilman Farid, Mudji Sutrisno, dsb. mereka menyatakan bahwa pernyataan penolakan itu bukan sikap keseluruhan masyarakat Indonesia. Alasan mereka sampai saat ini belum ada forum terbuka dan adil yang menjelaskan kontroversi peran Pram dalam kehidupan sastra budaya. Selain nama-nama diatas, sastrawan/budayawan yang juga mendukung Pram diantaranya : Arief Budiman, Remy Silado, Umar kayam dan Gus Dur Ketiga : Novel Arus Balik Terbit dan langsung diganjar larangan rezim orde Baru Banyak pendapat yang mengatakan kalau Arus Balik adalah karya terbesar Pram melebihi Tetralogi Pulau Buru yang sudah diterjemahkan ke seluruh penjuru dunia kecuali benua Afrika dan kawasan Timur Tengah. Arus Balik juga sering disebut sebagai literatur maritim Nusantara pada awal abad 16. Paska runtuhnya Majapahit, ada empat kekuatan besar yang bercokol di pulau Jawa. Pajajaran, Blambangan, Demak dan kadipaten Tuban. Meski cuma sebuah Kadipaten, Tuban masih mewarisi sisa-sisa kekuatan Majapahit terutama pasukan gajahnya. Jika ditinjau dari kultur sosial dan agama, Pajajaran dan Blambangan bercorak Hindu, Tuban bercorak semi Islam dan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Situasi mulai agak memanas ketika Pangeran Unus dari Demak dalam satu serangan berhasil menguasai Jepara yang termasuk wilayah Kadipaten Tuban tanpa melalui perang resmi. Hai itu tentu saja membuat Adipati Arya Teja Wilwaltika selaku penguasa Tuban geram. Tapi Adipati Tuban tidak serta merta terprovokasi karena dia lebih mencintai perdagangan dan menganggap peperangan hanya akan membawa kemunduran ekonomi. Bahkan Adipati Tuban mengangganti Syah Bandar Rangga Ishaq dengan Syahbandar baru bernama Sayyid Habibullah Al Masawwa dengan tujuan untuk menjalin perdagangan dengan Peranggi (baca : Portugis) yang pada tahun 1512 merebut Malaka dari Sultan Mahmud Syah. Adipati Tuban seakan tak peduli dan menutup telinga oleh peringatan utusan dari Malaka yang mengabarkan bahwa Sayyid Habibullah Al masawwa adalah orang berbahaya karena berkat penghianatanya pasukan Peranggi dibawah pimpinan Alfonso de Albur qur que dengan mudah menduduki Malaka. Keputusan Adipati Tuban tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa untuk menjalin persahabatan dengan peranggi, Tuban harus memiliki Syahbandar yang menguasai Bahasa Peranggi. Dibawah pemerintahan Adipati Unus Jepara berubah menjadi kekuatan armada laut yang kuat. Perairan Jepara dipenuhi kapal perang dan para pandai besi dari negeri Blambangan didatangkan untuk membuat Cetbang[i]. Rupanya sejak awal niat Adipati Unus menduduki Jepara adalah untuk membangun angkatan laut yang kuat dan menggunakanya untuk menyerang Peranggi di Malaka. Adipati Unus juga membangun persekutuan dengan beberapa kekuatan untuk memuluskan rencananya, antara lain Demak, Tuban, Aceh, Jambi dan Riau Tokoh utama dalam novel ini adalah Wiranggaleng. Seorang petani dari desa Awis Krambil sekaligus juara gulat kadipaten Tuban. Awalnya Galeng hanyalah seorang pemuda yang bercita-cita untuk hidup bahagia bersama Idayu dengan membuka ladang di tengah hutan. Tetapi suratan takdir membuatnya terjebak ke dalam suhu politik kadipaten Tuban dengan diangkatnya dia sebagai asisten Syahbandar Tuban Sayyid Habibullah Al Masawwa. Kesempatan ini dipergunakan Wiranggaleng untuk berjuang mewujudkan wasiat Rama Cluring selaku gurunya, yaitu membalikkan arus pelayaran sehingga kapal-kapal Nusantara mampu mewarnai wilayah negeri atas angin di belahan utara seperti yang pernah dilakukan oleh Gajah Mada. Paska runtuhnya Majapahit arus pelayaran memang mengalami perubahan dari utara menuju selatan. Malangnya, selain munafiq Sayyid Habibullah Al Masawwa ternyata juga seorang binatang. Dia sengaja mengirim Wiranggaleng untuk melaksanakan tugas keluar wilayah Tuban agar dapat melepaskan hasrat birahinya terhadap Idayu isteri Wiranggaleng. Hingga membuat Idayu hamil. Pada tahun 1513 pasukan gabungan yang dipimpin Adipati Unus menyerang Peranggi di malaka. Beberapa kekuatan yang terlibat dalam penyerangan itu antara lain Demak, Jepara, Riau, Jambi, Aceh. Tuban yang awalnya menyatakan ikut terlambat lima hari sehingga tidak terlibat pertempuran di Malaka. Pasukan gabungan itu ternyata tidak mampu menghadapi meriam Peranggi yang kekuatanya lebih dahsyat daripada cetbang Majapahit. Mereka pulang membawa kekalahan dan Adipati Unus sendiri terluka parah. Di novel ini sebab-sebab kegagalan pasukan Adipati Unus saat menyerang malaka diuraikan Pram lebih lengkap daripada penjelasan di pelajaran sekolah selama ini. Sebab-sebab itu antara lain : - keterlambatan pasukan Tuban yang disengaja. Hal ini kemungkinan disebabkan dendam Adipati Tuban kepada Adipati Unus karena sebelumnya telah merebut Jepara. Penghianatan Adipati Tuban tentu saja membuat Sunan Kalijaga sebagai anaknya malu dan terpukul sehingga bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di Tuban. - Pasukan Aceh yang dipimpin Kantommana tidak mematuhi instruksi Adipati Unus. Setelah kekalahan pasukan gabungan itu di Bandar Banten banyak yang mengatakan bahwa Aceh punya maksud buat menggagahi malaka buat dirinya sendiri -Pandai Besi dari Blambangan kurang maksimal dalam membuat Cetbang Wiranggaleng berpendapat bahwa pasukan gabungan ini tidak selayaknya kalah. Kegagalan ini nyatanya tidak membuat Adipati Unus Jepara menyerah. Bahkan beliau membangun Armada laut lebih besar dari yang pertama untuk melakukan penyerangan kedua kalinya. Tahun 1518 Sultan Fattah wafat dan Adipati Unus Jepara dinobatkan menjadi sultan Demak menggantikan ayahnya. Pada hari ia naik tahta, Adipati Unus memanggil semua musafir Demak untuk menyampaikan amanat sebelum mereka menuju ke daerah tugasnya masing-masing. Isi amanat tersebut diantaranya - Sultan Demak kedua berseru pada seluruh penduduk di Jawa untuk melawan Peranggi sebagai musuh yang takkan diajak berbaik. -Sultan Demak berseru pada raja-raja di Jawa dan seluruh Nusantara untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna membangunkan armada gabungan yang perkasa. - Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu musuh dan harus dihancurkan juga. para musafir Demak terkejut karena semua Amanat dari Sultan kedua Demak tidak ada yang berhubungan dengan agama. Seruan itu begitu jantan hingga orang tak pernah mengingat lagi bahwa Sultan Demak kedua adalah seorang yang cacat. Bahkan untuk tegak berdiri harus dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi menjadi Laksamana. Titah yang kemudian menyusul lebih menggoncangkan lagi. Segala dana dan daya di dalam kerajaaan Demak, tanpa kecuali, harus dikerahkan untuk membangun Armada. Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan Bumi selatan. Kerajaan Hindu Giri Dahana Putra Blambangan dan Pajajaran mencium datangnya bahaya ini. Dengan serta merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan persahabatan Peranggi di Malaka Titah Sultan Demak kedua ini bergema juga di Aceh melalui Bandar Pasai. Dari pasai sampai pada Peranggi di Malaka. Pengalaman telah mengajarkan kepada Peranggi, dulu saat Adipati Unus belum punya kerajaan telah berani jadi penantangnya yang sangat berbahaya. Apalagi setelah menjadi Sultan Demak.. bagi Peranggi, Demak yang sekarang terlalu berbahaya. Makanya Peranggi memerintahkan kapal-kapalnya untuk menjauhi pesisir Pulau jawa dan tidak terlalu menggubris persahabatan yang diulurkan Pajajaran dan Blambangan. Pajajaran dan Blambangan hanya dimanfaatkan untuk memantau kegiatan Demak. Akibat titah kedua ini kegiatan pelayaran Pribumi kembali normal. Perairan Jawa telah bebas dari kapal-kapal Peranggi. Beberapa pedagang Pribumi bahkan telah melakukan percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada dagang gabungan dengan mengibarkan Bendera kupu Tarung lambang bendera Jepara. Dengan cara ini mereka berhasil mendapatkan rempah-rempah dari Maluku. Armada gabungan lainya meniru dengan menggunakan cara ini. Seperti ditiup angin dari langit Teluk bayur menjadi Bandar ramai yang menghubungkan atas angin dengan Nusantara. Para pelaut seluruh Nuantara sepakat mengakui kalau Unus berlidah Api. Baru melalui kata-kata saja laut Nusantara menjadi normal kembali apalagi nanti tindakanya Pada tahun Tahun 1521 di Demak terjadi perubahan yang cepat dan telah merubah segalanya. Sultan Demak kedua wafat akibat serpihan laras cetbang di tubuhnya. Raja-raja Nusantara ikut berkabung. Lebih-lebih para saudagar dan pemilik kapal. Di Malaka yang terjadi justru sebaliknya. Wafatnya Unus disambut peranggi dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur dibagikan secara melimpah untuk merayakan kematianya. Armada Peranggi akan dapat menjelajahi lautan Nusantara tanpa kekuatiran karena satu-satunya penantang telah mati . Ramalan tentang siapa yang akan menjadi raja Demak berikutnya sempat ramai beredar. Ketegangan merambati seluruh Demak tanpa kepastian karena pewaris tahta Demak sudah pasti juga akan mewarisi Armada laut di Jepara peninggalan Unus. Tafsiran dan ramalan kemudian padam karena sultan Demak yang ketiga telah dinobatkan. Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah kenyataanya. Sultan Demak ketiga adalah Trenggono, adik Unus. mendengar penobatan Trenggono, Peranggi langsung berpesta, dalam sekejap mereka menguasai Pasai. Di mata Peranggi Trenggono bukanlah ancaman serius. Apalagi dia dapat naik tahta hanya dengan melalui mayat abang kandungnya sendiri, Pangeran Seda Lepen. Abangnya ini yang akan dinobatkan oleh majelis kerajaan. Tetapi Sunan Kalijaga menjagokan Trenggono. Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk membasahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak haus. Anggur terbaik dari Prancis dan Aljazair Setelah pengangkatan Trenggono, Ratu Aisah memutuskan menetap di Jepara karena tidak menemui kata sepakat dengan putranya yang kini menjadi sultan Demak .Trenggono nampaknya tidak ada niat untuk menyerang Peranggi, sedang Ratu Aisah tetap pada pendirianya untuk meneruskan cita-cita Unus. Pada tahun 1925 penyerangan terhadap Peranggi di Malaka kembali dilakukan, penyerangan ini merupakan hasil kesepakatan persekutuan rahasia yang didalangi Ratu aisah, Aji Usup dan Liem Mo Han. Trenggono juga berubah pikiran dan menyatakan ikut dalam penyerangan ini dengan Panglima Barunya Fatahillah. Fatahillah adalah mantan Panglima pasai yang merupakan cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Perubahan ini kemungkinan besar disebabkan untuk mengindari perpecahan antara pasukan laut Jepara dan pasukan kuda yang selama ini ditimang-timang dan dianak emaskan Trenggono. Beberapa Kekuatan yang terlibat dalam rencana penyerangan kedua ini adalah Jepara, Demak, Tuban, Bugis, Aceh. Pada penyerangan ke Malaka kali ini Adipati Tuban memang sungguh-sungguh mengirimkan pasukanya ke malaka dengan Wiranggaleng sebagai pemimpinya. Tapi niat sebenarnya Adipati Tuban bukanlah menyerang Peranggi melainkan untuk membinasakan Wiranggaleng. Hal ini terlihat dengan tidak adanya meriam pada kapal yang telah dipersiapkan untuk pasukan Tuban. Kapal yang dikasih Adipati pun bukanlah kapal perang melainkan kapal Jung. Jika pada tahun 1513 pasukan Tuban menghianati Jepara-Demak, pada penyerangan kedua Justru armada Jepara-Demak yang berkhianat dengan kembali diam-diam ke Jepara setelah sampai di perairan Banten. Fatahillah tidak menyadari jika penghianatan ini telah dilihat armada Tuban. Sedangkan pasukan laut Jepara terheran-heran dan bertanya satu sama lain apa yang sesungguhnya terjadi. Rupanya mereka belum mengetahui niat tersembunyi Trengono dan Fatahillah. Begitu sudah ada kepastian pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis menyerang bagian peluaran kota Malaka, Trenggono memerintahkan pasukan kuda kesayanganya untuk menyerang daerah-daerah di sebelah timur Demak. Santenan[ii] jatuh. Menyusul Blora dan Rembang. Pada hari Trenggono menyerang ke wilayah timur negerinya, Armada Jepara-Demak dengan kekuatan tujuh puluh kapal perang besar meningalkan Jepara dan menerjang bandar Banten dan Sunda Kelapa. Pasukan Pajajaran tidak dapat mempertahankan wilayahnya mengingat kekuatan kedua belah pihak memang tidak seimbang. Mereka memilih lari ke pedalaman. Fatahillah tidak memerintahkan pasukanya untuk mengejar karena semua Bandar milik Pajajaran sudah ia kuasai. Baginya sebuah negeri tidak akan bisa hidup tanpa memiliki Bandar dan pasti akan mati dengan sendirinya. Selain melenyapkan kerajaan pajajaran, armada Jepara-Demak pimpinan Fatahillah juga berhasil menghalau Peranggi dari Sunda Kelapa dan merubah namanya menjadi Jayakarta. Di masa sekarang, peristiwa ini setiap tahunnya diperingati sebagai hari Jadi kota Jakarta. saat membaca novel Arus Balik, para pembaca akan takjub akan kelihaian Pram dalam menggambarkan setting awal abad enam belas. Pembaca akan seperti menonton sebuah film. Terutama pada bagian pertempuran antara pasukan Tuban melawan pasukan Sunan Rajeg, mantan syahbandar Tuban. Pram melukiskan jalannya pertempuran ini dengan sangat detail. Pram sampai menguraikan strategi perang raja-raja Jawa, strategi perang ala Eropa dan strategi perang pasukan gajah kadipaten Tuban. Pram menyebut teknik ini dengan nama tulisan Plastis. Tulisan yang apabila dibaca akan muncul gambaran seperti film di benak pembaca. Pram mengaku belajar teknik seperti ini dari karya-karya Steinbeck. Sedangkan untuk membuat tulisan yang dapat meninbulkan rasa haru, Pram belajar dari sastrawan Amerika latin Willian Sarroyan. Melalui novel ini Pram sengaja menyindir pemerintah Indonesia yang menyebut Indonesia sebagai Negara maritim tetapi lebih mementingkan angkatan Darat daripada angkatan laut. Padahal sejarah mengatakan bahwa untuk menguasai dunia sebuah negeri harus mempunyai angkatan laut yang kuat. Sriwijaya, Singasari dan Majapahit telah membuktikanya. Pram mengungkapkan bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari fakta sejarah. Saat Indonesia masih bernama Hindia belanda yang berkuasa juga angkatan darat. Ketika tahun 1812 diserang angkatan laut Inggris hanya dalam waktu dua hari angkatan darat Hindia Belanda angkat tangan. kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang banyak memakan jiwa rakyat pribumi seakan sia-sia karena sebelumnya tujuan Deandels membangun jalan ini adalah untuk membentengi pulau Jawa dari serbuan Inggris. kejadian seperti ini terulang di tahun 1942 ketika Hindia Belanda dalam waktu dua hari juga menyerah saat diserang angkatan laut Jepang. Padahal saat itu angkatan darat Hindia Belanda telah menghasilkan sekian banyak Jendral Bintang Lima. Setelah membaca karya-karya Pram banyak pembaca yang meyakini bahwa faktor utama penyebab kekalahan bangsa Jawa dari Bangsa kulit putih bukanlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah melainkan karena kelemahan budaya yang diantara lantaran keserakahan dan ketamakan raja-rajanya sendiri. Pram berpendapat bahwa masalah kebudayaan Jawa yang demikian itu sedikit banyak dipengaruhi oleh kisah Mahabarata yang puncak ajaranya merupakan pertentangan antar sesama saudara sendiri. Selain ketamakan raja-rajanya, lemah dalam memegang prinsip juga menjadi salah satu kelemahan budaya bangsa Jawa. itu terlihat dengan sangat sedikitnya raja-raja Jawa yang mati karena memegang prinsip. Menurut Pram Bangsa Jawa sangat merindukan pemimpin seperti Surapati yang tak kunjung datang. Umar kayam berpendapat bahwa Nusantara kalah oleh Eropa karena idiom kebudayaan Nusantara tidak begitu canggih dibandingkan dengan kebudayaan Eropa. Menurut Van Leur, kerajaan-kerajaan Nusantara pada waktu itu sudah menguasai teknologi senjata api dan kilang-kilang senjata api. Namun dilihat dari cara laskar Mataram memperlakukan meriam sebagai benda-benda keramat yang sakti, dapat disimpulkan bahwa mereka belum memiliki sikap rasional terhadap senjata-senjata canggih. keprihatinan Pramoedya mengenai kekalahan secara terus-menerus bangsa Jawa terhadap bangsa Eropa memang sangat beralasan karena jika ditinjau dari sejarah tulisan. Bangsa Jawa lebih unggul dari bangsa-bangsa Eropa menjelang abad ke-8. Ini disebabkan bangsa Jawa sudah dapat menulis waktu sebagian besar bangsa Eropa masih dalam keadaan buta huruf. Dalam abad itu bangsa Belanda baru berkenalan dengan agama Nasrani, baru mengenal tulisan secara samar-samar. Mereka belum lagi dapat membaca malahan mereka membunuh penyebar Injil golongan pertama yaitu Bonifacius. Di Novel Arus Balik terlihat bahwa orang-orang Islam lah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap bangsa kulit putih. Disaat Demak dan Jepara berusaha meghalau Portugis dari Nusantara, Pajajaran dan Blambangan justru mengulurkan persahabatan dengan Portugis. Pram juga menegaskan hal ini dalam Tetralogi buru. “Dan Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak Eropa datang kembali ke Hindia, dan akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling halus menolak kerja sama, jadi pedagang. Tradisi itu patut dihidupkan, dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkara itu adalah modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia” (Pramoedya, Jejak Langkah, halaman 339) Harsja Wardhana Bachtiar berpendapat bahwa suatu bangsa harus mempunyai karya sastra yang mengingatkan para angotanya pada keagungan masa lampau. Kalau ditinjau dari segi ini, karya-karya Pram dapat dikatakan berhasil memenuhi pandangan tersebut karena di dalamnya kaya dengan persoalan-persoalan yang dapat menyadarkan manusia terhadap kedudukan mereka dan wawasan terhadap keunggulan dan kelemahan sejarah bangsa dari kaca mata Pramoedya. Meski sering dianggap sebagai novel sejarah paling dahsyat di Indonesia, Arus Balik bukannya tanpa kelemahan. Dalam kumpulan essaynya yang berjudul dari Jawa menuju Atceh, Linda Christanty memaparkan dua kelemahan novel arus balik. Pertama : Pram terlalu melebih-lebihkan Majapahit sebagai kerajaan terbesar di Nusantara. Pram lupa bahwa Majapahit yang mulai berdiri pada abad ke-13 hanya mengalami tujuh puluh tahun masa jaya. Sedangkan Sriwijaya yang menguasai samudera sejak abad ke-7 sampai awal abad -13 tidak disinggung sebagaimana mestinya. Mungkin Pram juga lupa bahwa perang laut terbesar di Asia Tenggara terjadi saat Sriwijaya mengerahkan seratus ribu tentara laut melawan Funan. mungkin kesalahan ini bisa sedikit dimaklumi karena Pram meminjam mulut pemuda desa bernama Wiranggaleng. Kedua : Pram justru bertolak dari kota pelabuhan Tuban yang tak sebanding dengan kebesaran Majapahit apalagi Sriwijaya. Novel ini seolah mengatakan bahwa seluruh perubahan iklim modal dan politik Nusantara bertumpu pada sebuah kota kadipaten. Selama ini saya sering mendengar teori bahwa kebenaran sejarah ada di tangan pihak yang berkuasa. Namun Pramoedya Ananta Toer telah membuktikan bahwa kebenaran sebuah sejarah bukanlah ditangan penguasa melainkan ada di tangan Penulis [i] Sejenis meriam pada jaman majapahit. [ii] Sekarang bernama Kabupaten Pati